GAPKI Minta Pemerintah Tinjau Ulang BK Sawit
21 Juli 2011
Admin Website
Artikel
3788
JAKARTA (ANTARA
News). Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mendesak
pemerintah meninjau ulang rencana perubahan Bea Keluar (BK) CPO (crude palm oil) agar lebih adil, proporsional, dan tidak memberatkan petani serta produsen sawit.
"Kami sampaikan seruan itu karena BK progresif yang dikenakan selama ini memberikan dampak negatif kepada industri sawit nasional," kata Direktur Eksekutif GAPKI, Fadhil Hasan, kepada ANTARA di Jakarta, Rabu.
Fadhil mengatakan, pihaknya menyampaikan seruan itu sehubungan dengan rencana Pemerintah yang akan mengeluarkan peraturan baru tentang BK CPO dalam waktu dekat ini.
Berdasarkan keterangan yang diperoleh tidak terjadi perubahan yang signifikan dalam skema BK yang tetap progresif.
"Perubahan hanya terjdi pada batas bawah menjadi 750 dolar AS per ton dan tarif BK menjadi antara 15-25 persen," katanya.
Menurut dia, penerapan BK Progresif selama ini memberikan dampak negatif, antara lain daya saing industri CPO menurun dibanding minyak nabati lain di pasar internasional.
Selain itu, tarif progresif menjadi disinsentif karena sekalipun harga CPO tinggi para pelaku industri kelapa sawit tidak termotivasi untuk meningkatkan efisiensinya.
Kemudian redistribusi pendapatan dari produsen CPO dan petani ke konsumen (industri pengolahan produk turunan CPO) menjadi tidak lancar karena produsen dan petani tidak mampu menggeser beban tersebut ke konsumen.
BK Progresif hanya memberi proteksi sementara atau subsidi terhadap industri pengolahan produk turunan CPO yang tidak berdaya saing.
Selanjutnya, tambahnya, industri yang tidak efisien akan selalu tergantung pada proteksi atau subsidi Pemerintah sehingga akan sulit berkembang.
"BK Progresif menjadi salah satu penyebab spekulasi ekspor dan berdampak pada kelangkaan CPO di pasar domestik," katanya.
Pengenaan BK progresif hanya menambah beban ekonomi biaya tinggi karena berbagai pungutan berupa PBB, PPh pasal 22, PPN, dan restribusi sudah menjadi beban produsen.
Untuk itu GAPKI meminta pemerintah mengembalikan sebagian dana hasil BK CPO langsung kepada industri sawit.
Menurut dia, sudah selayaknya pelaku industri sawit nasional dari hulu hingga hilir memperoleh timbal balik yang dapat berupa riset dan pengembangan serta pembangunan infrastruktur berupa jalan, tangki timbun dan pelabuhan CPO di sentra-sentra produksi sawit.
BK CPO diharapkan dapat pula membantu perkebunan rakyat yang dimiliki petani guna membiayai penanaman kembali lahan sawit, subsidi pupuk dan penyediaan benih unggul.
Tiga Opsi
Sehubungan dengan itu, Gapki mengusulkan tiga opsi, pertama opsi tarif BK flat antara 3-5 persen pada tingkat harga 750-1.250 dolar per ton dan apabila harga di atas 1.250 per ton maka dikenakan tambahan BK sebesar 5.0 persen dari selisih harga ( 1.250 per ton dikurangi 750 per ton).
Kemudian, tambahnya, BK Progresif di mana tarif awal BK 5 persen (pada tingkat harga 1.250 dolar per ton -750 per ton) dan setiap kenaikan 50 dolar per ton dikenakan tambahan tarif sebesar 1,5 persen dari selisih harga tersebut ( 800-750 dolar per ton).
Opsi BK yang incremental di mana sebesar 1,5 persen pada tingkat harga 750 per ton -800 per ton dan setiap kenaikan 50 per ton dikenakan tambahan BK sebesar 1,5 persen dengan batas atas sebesar 15 persen pada tingkat harga lebih besar dari 1.250 per ton.
Dengan tiga opsi BK tersebut dan pemanfaatan dana BK yang sebagaimana usulan Gapki, maka diharapkan BK akan menjadi instrumen kebijakan yang lebih akomodatif terhadap semua kepentingan stakeholders, adil dan proporsional.
DIKUTIP DARI ANTARA NEWS, KAMIS, 21 JULI 2011
"Kami sampaikan seruan itu karena BK progresif yang dikenakan selama ini memberikan dampak negatif kepada industri sawit nasional," kata Direktur Eksekutif GAPKI, Fadhil Hasan, kepada ANTARA di Jakarta, Rabu.
Fadhil mengatakan, pihaknya menyampaikan seruan itu sehubungan dengan rencana Pemerintah yang akan mengeluarkan peraturan baru tentang BK CPO dalam waktu dekat ini.
Berdasarkan keterangan yang diperoleh tidak terjadi perubahan yang signifikan dalam skema BK yang tetap progresif.
"Perubahan hanya terjdi pada batas bawah menjadi 750 dolar AS per ton dan tarif BK menjadi antara 15-25 persen," katanya.
Menurut dia, penerapan BK Progresif selama ini memberikan dampak negatif, antara lain daya saing industri CPO menurun dibanding minyak nabati lain di pasar internasional.
Selain itu, tarif progresif menjadi disinsentif karena sekalipun harga CPO tinggi para pelaku industri kelapa sawit tidak termotivasi untuk meningkatkan efisiensinya.
Kemudian redistribusi pendapatan dari produsen CPO dan petani ke konsumen (industri pengolahan produk turunan CPO) menjadi tidak lancar karena produsen dan petani tidak mampu menggeser beban tersebut ke konsumen.
BK Progresif hanya memberi proteksi sementara atau subsidi terhadap industri pengolahan produk turunan CPO yang tidak berdaya saing.
Selanjutnya, tambahnya, industri yang tidak efisien akan selalu tergantung pada proteksi atau subsidi Pemerintah sehingga akan sulit berkembang.
"BK Progresif menjadi salah satu penyebab spekulasi ekspor dan berdampak pada kelangkaan CPO di pasar domestik," katanya.
Pengenaan BK progresif hanya menambah beban ekonomi biaya tinggi karena berbagai pungutan berupa PBB, PPh pasal 22, PPN, dan restribusi sudah menjadi beban produsen.
Untuk itu GAPKI meminta pemerintah mengembalikan sebagian dana hasil BK CPO langsung kepada industri sawit.
Menurut dia, sudah selayaknya pelaku industri sawit nasional dari hulu hingga hilir memperoleh timbal balik yang dapat berupa riset dan pengembangan serta pembangunan infrastruktur berupa jalan, tangki timbun dan pelabuhan CPO di sentra-sentra produksi sawit.
BK CPO diharapkan dapat pula membantu perkebunan rakyat yang dimiliki petani guna membiayai penanaman kembali lahan sawit, subsidi pupuk dan penyediaan benih unggul.
Tiga Opsi
Sehubungan dengan itu, Gapki mengusulkan tiga opsi, pertama opsi tarif BK flat antara 3-5 persen pada tingkat harga 750-1.250 dolar per ton dan apabila harga di atas 1.250 per ton maka dikenakan tambahan BK sebesar 5.0 persen dari selisih harga ( 1.250 per ton dikurangi 750 per ton).
Kemudian, tambahnya, BK Progresif di mana tarif awal BK 5 persen (pada tingkat harga 1.250 dolar per ton -750 per ton) dan setiap kenaikan 50 dolar per ton dikenakan tambahan tarif sebesar 1,5 persen dari selisih harga tersebut ( 800-750 dolar per ton).
Opsi BK yang incremental di mana sebesar 1,5 persen pada tingkat harga 750 per ton -800 per ton dan setiap kenaikan 50 per ton dikenakan tambahan BK sebesar 1,5 persen dengan batas atas sebesar 15 persen pada tingkat harga lebih besar dari 1.250 per ton.
Dengan tiga opsi BK tersebut dan pemanfaatan dana BK yang sebagaimana usulan Gapki, maka diharapkan BK akan menjadi instrumen kebijakan yang lebih akomodatif terhadap semua kepentingan stakeholders, adil dan proporsional.
DIKUTIP DARI ANTARA NEWS, KAMIS, 21 JULI 2011