Pengusaha Sawit Gerah PTA RI-Pakistan Belum Tuntas
14 Februari 2011
Admin Website
Artikel
3979
Jakarta -
Pengusaha sawit di dalam negeri menyayangkan belum tuntasnya
perundingan Preferential Trade Agreement (PTA) pemerintah Indonesia
dengan Pakistan.
Hal ini berdampak makin tergerusnya pasar ekspor sawit mentah (CPO) Indonesia di Pakistan karena kalah bersaing dengan produk CPO Malaysia yang sudah punya kesepakatan sejenis sehingga mendapatkan bea masuk lebih rendah. Imbasnya harga CPO Malaysia lebih murah dengan CPO asal Indonesia di pasar Pakistan.
Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Fadhil Hasan mengatakan meski saat ini ekspor sawit dan turunannya sudah mencapai US$ 14 miliar atau terbesar dari ekspor non migas lainnya. Namun angka itu belum maksimal karena banyak potensi pasar seperti di Pakistan terkendala perjanjian PTA.
"Pada tahun 2007 ekspor kita ke Pakistan mencapai US$ 560 juta, sekarang ini hanya puluhan ribu dolar saja, karena perjanjian kita dengan Pakistan belum diselesaikan," kata Fadhil di acara rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi VI di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (14/2/2011).
Fadhil menambahkan yang menjadi hambatan dari negosiasi RI-Pakistan adalah salah satunya dari kementerian pertanian yang masih keberatan soal penghapusan bea masuk impor jeruk kino Pakistan. Alasannya produk jeruk impor dari China saja sudah 0%, jika ditambah dari Pakistan dikhawatirkan mengganggu petani jeruk dalam negeri.
Dikatakannya, selain meminta penurunan bea masuk jeruk kino, pihak Pakistan juga meminta beberapa produk industrinya dibebaskan tarifnya, sebagai konsekuensi dari penurunan bea masuk produk sawit Indonesia ke Pakistan. Ia menghitung secara keseluruhan dengan produk yang diinginkan Pakistan dibandingkan ekspor sawit Indonesia ke Pakistan, justru lebih menguntungkan Indonesia.
"Kalau menurut saya terima saja apa yang diinginkan Pakistan karena imbalan yang kita hasilkan jauh lebih besar," katanya.
Sementara itu Anggota DPR-RI Komisi VI DPR-RI. Erick Satya Wardhana mengatakan bahwa pemerintah perlu melihat adanya potensi pasar sawit di Pakistan dengan segera menyelesaikan perundingan PTA dengan Pakistan. Menurutnya pangsa pasar produk CPO Indonesia di Pakistan sudah turun drastis dari 45% menjadi hanya 11%.
Hal ini berdampak makin tergerusnya pasar ekspor sawit mentah (CPO) Indonesia di Pakistan karena kalah bersaing dengan produk CPO Malaysia yang sudah punya kesepakatan sejenis sehingga mendapatkan bea masuk lebih rendah. Imbasnya harga CPO Malaysia lebih murah dengan CPO asal Indonesia di pasar Pakistan.
Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Fadhil Hasan mengatakan meski saat ini ekspor sawit dan turunannya sudah mencapai US$ 14 miliar atau terbesar dari ekspor non migas lainnya. Namun angka itu belum maksimal karena banyak potensi pasar seperti di Pakistan terkendala perjanjian PTA.
"Pada tahun 2007 ekspor kita ke Pakistan mencapai US$ 560 juta, sekarang ini hanya puluhan ribu dolar saja, karena perjanjian kita dengan Pakistan belum diselesaikan," kata Fadhil di acara rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi VI di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (14/2/2011).
Fadhil menambahkan yang menjadi hambatan dari negosiasi RI-Pakistan adalah salah satunya dari kementerian pertanian yang masih keberatan soal penghapusan bea masuk impor jeruk kino Pakistan. Alasannya produk jeruk impor dari China saja sudah 0%, jika ditambah dari Pakistan dikhawatirkan mengganggu petani jeruk dalam negeri.
Dikatakannya, selain meminta penurunan bea masuk jeruk kino, pihak Pakistan juga meminta beberapa produk industrinya dibebaskan tarifnya, sebagai konsekuensi dari penurunan bea masuk produk sawit Indonesia ke Pakistan. Ia menghitung secara keseluruhan dengan produk yang diinginkan Pakistan dibandingkan ekspor sawit Indonesia ke Pakistan, justru lebih menguntungkan Indonesia.
"Kalau menurut saya terima saja apa yang diinginkan Pakistan karena imbalan yang kita hasilkan jauh lebih besar," katanya.
Sementara itu Anggota DPR-RI Komisi VI DPR-RI. Erick Satya Wardhana mengatakan bahwa pemerintah perlu melihat adanya potensi pasar sawit di Pakistan dengan segera menyelesaikan perundingan PTA dengan Pakistan. Menurutnya pangsa pasar produk CPO Indonesia di Pakistan sudah turun drastis dari 45% menjadi hanya 11%.
DIKUTIP DARI DETIK ONLINE, SENIN, 14 PEBRUARI 2011