Dihadang Konspirasi Eropa untuk Membatasi Dominasi Ekspor CPO
31 Desember 2013
Admin Website
Berita Nasional
5078
JAKARTA. Indonesia menyandang sebagai pengekspor minyak kelapa sawit (Crude
Palm Oil/CPO) terbesar di dunia. Namun geliat sektor CPO Indonesia kian
tahun kian lesu. Bahkan di 2013 ternyata masih lesu, meskipun di awal
tahun sempat mengalami kenaikan.
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki)
menyampaikan dalam periode Januari-Agustus 2013, ekspor CPO Indonesia
mencapai 13,69 juta ton atau mengalami kenaikan 18,6 persen dibanding
periode sama pada 2012 sebesar 11,54 juta ton. Meski demikian, bukan
berarti CPO sebagai salah satu tulang punggung ekspor Indonesia tidak
pernah mendapat hambatan. Salah satu hambatan tersebut datang dari
Negara-negara Uni Eropa yang memiliki banyak produsen grapeseed, dan
bunga matahari sampai saat ini terus menerus berupaya membatasi
perdagangan CPO Indonesia.
Bahkan, setelah tuduhan dumping tak terbukti, Eropa menuduh CPO merupakan produk yang tak ramah lingkungan. Namun, tuduhan itu pun tak terbukti lantaran angka kepatuhan terhadap keramahan lingkungan CPO Indonesia sudah lebih tinggi dari yang dituduhkan Environment Protection Agency (EPA).
Meski diprediksi mengalami kenaikan secara keseluruhan di Indonesia, pada awal tahun ekspor CPO Indonesia sempat menurun tajam, salah satunya seperti yang terjadi di Sumatera Utara. Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Sumatera Utara (Sumut) mencatat, terjadi penurunan sangat signifikan pada ekspor CPO Sumut.
Kepala Seksi Ekspor Hasil Pertanian dan Pertambangan Disperindag Sumut Fitra Kurnia menyampaikan, penurunan kinerja ekspor CPO ini tidak terlalu mengejutkan, karena menjadi salah satu dampak mengecilnya pasar impor akibat krisis keuangan yang terjadi di Amerika Serikat (AS) dan Eropa.
Gapki mencatat harga CPO di pasar dunia semakin lesu. Pada April hingga pertengahan Mei 2013, harga CPO berkisar di antara USD 825 hingga USD 857,5 per metrik ton. Kisaran harga ini turun dibandingkan bulan sebelumnya yakni sebesar USD 835 hingga USD 870 pada Maret, USD 835 hingga USD 885 pada Februari dan USD 810 hingga USD 885 pada Januari.
Tragisnya, melemahnya harga CPO tidak dapat mendongkrak pasar ekspor CPO dan produk turunannya asal Indonesia yang hingga April 2013 masih mengalami kelesuan yang berkepanjangan. Hal ini tampak dari volume ekspor yang terus menurun sejak Januari 2013 hingga April 2013.
Ekspor CPO pada April ini mencapai 1,49 juta ton dan terus mengalami penurunan sejak Januari, yaitu dari 2,05 juta ton (Januari) menjadi 1,92 juta ton (Februari) dan 1,7 juta ton (Maret). Turunnya volume ekspor CPO asal Indonesia ini menurut Gapki dipengaruhi beberapa faktor seperti penurunan produksi, permintaan pasar dunia yang lemah sebagai akibat krisis ekonomi Eropa dan belum pulihnya pertumbuhan ekonomi AS yang juga berdampak pada perekonomian Tiongkok dan Pakistan.
Jika dihitung secara rinci, total volume ekspor year on year, kinerja ekspor CPO dan turunannya pada periode Januari-April 2013 menunjukkan kenaikan. Total volume ekspor Januari-April tahun ini mencapai 7,17 juta ton.
Jika dibandingkan dengan periode yang sama, kinerja ekspor Januari-April tahun ini mengalami kenaikan 17 persen atau naik 1,24 juta ton dari 5,93 juta ton pada Januari-April 2012. Ekspor CPO dan turunannya tercatat mengalami penurunan ke semua negara tujuan kecuali India.
Pasar utama ekspor masih didominasi oleh India dengan volume mencapai 546 ribu ton, naik sekitar 130 ribu ton atau 23,8 persen dibandingkan dengan volume ekspor pada Maret sebesar 416 ribu ton. Walaupun meningkat dari bulan sebelumnya, jika dibandingkan dengan ekspor pada Januari dan Februari, kinerja ekspor ke India mengalami penurunan 30 persen atau setara dengan 233 ribu ton dari 778,92 ribu ton pada Januari dan turun 16 persen atau 106,84 ribu ton dari 652,78 ribu ton pada Februari lalu.
Di sisi lain, naiknya volume ekspor ke India dipengaruhi harga CPO dunia yang diperkirakan terjadi pada Mei 2013 karena langkanya persediaan minyak nabati lainnya padahal konsumsi dunia masih cukup tinggi. Di samping itu keterlambatan jadwal penanaman kedelai dan jagung juga akan mempengaruhi waktu produksi sehingga hal ini akan menimbulkan spekulasi kelangkaan kedelai dan jagung yang pada akhirnya akan mengangkat harga minyak sawit sebagai minyak substitusi. Hal ini yang memicu aksi beli dari India.
Namun sayangnya, hal tersebut tidak diikuti negara lainnya. Volume ekspor CPO dan turunannya ke Tiongkok tercatat turun 6 persen dari 174,4 ribu ton di Maret menjadi 164,5 ribu ton di April. Sementara itu ekspor ke negara Uni Eropa juga mengalami penurunan yang cukup signifikan yaitu 18,7 persen dari 403 ribu ton di Maret menjadi 301 ribu ton di April. Penurunan volume ekspor juga terjadi di negara tujuan ekspor lainnya seperti USA, Pakistan dan Bangladesh.
Selain CPO, komoditas unggulan Indonesia lainnya adalah batu bara. Pada 2013, PT Adaro Energy Tbk (ADRO) menyampaikan bahwa sepanjang kuartal pertama harga jual rata-rata batu bara mengalami penurunan 18 persen. Hal ini disebabkan oleh lambatnya pertumbuhan harga dan melemahnya indeks harga batu bara global.
Meski demikian, pada kuartal ke empat ADRO memperkirakan akan terjadi perbaikan harga batu bara di kuartal keempat 2013. Adapun harga batu bara di akhir tahun akan meningkat pada kisaran USD 95 hingga USD 100 per ton.
Menurut Direktur Keuangan ADRO David Tendian, penurunan harga batu bara saat ini merupakan yang paling lama, di mana tahun lalu saja harga batu bara diprediksi melemah selama 18 bulan berikutnya.
Meski mengalami penurunan, menurut David kondisi ini merupakan koreksi sehat. Lebih lanjut, David menyampaikan, di sepanjang kuartal pertama harga jual rata-rata Adaro mengalami penurunan 18 persen. Hal ini disebabkan oleh lambatnya pertumbuhan harga dan melemahnya indeks harga batu bara global.
DIKUTIP DARI KALTIM POST, SENIN, 30 DESEMBER 2013