Kebun Wajib Integrasi Pabrik, Petani Dapat Jaminan Pasar
JAKARTA. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 98/2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan yang mewajibkan usaha perkebunan harus terintegrasi dengan masih mendapatkan pro dan kontra.
Gamal Nasir, Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian (Kemtan) mengatakan kebijakan ini diambil supaya petani memiliki jaminan pasar. "Selama ini masih banyak petani mandiri akses langsungnya (pengolahan) belum ada," kata Gamal, kemarin.
Seperti diketahui, di dalam pasal 10 ayat 1 menyebutkan Usaha Budidaya Tanaman kelapa sawit dengan luas 1.000 hektar (ha) atau lebih, teh dengan luas 240 ha atau lebih, dan tebu dengan luas 2.000 ha atau lebih, wajib terintegrasi dalam hubungan dengan Usaha Industri Pengolahan Hasil Perkebunan.
Menurutnya hitungan luas areal lahan dalam Permentan tersebut berdasarkan nilai efisiensi dan keekonomian sebuah usaha perkebunan budidaya skala minimum. Kedekatan geografis dengan pabrik pengolahan membuat daya saing petani meningkat.
Harry Hendrarto, Sekretaris Dewan Teh Indonesia (DTI) menyambut baik kebijakan ini karena membuat petani makin sejahtera. "Investasi akan naik, tenaga kerja akan bertambah sehingga kebun menjadi terurus," kata Harry.
Dalam praktek yang terjadi, petani masih mengandalkan pucuk daun teh dalam bentuk basah. Padahal, bila diolah menjadi bentuk produk setengah jadi, harga jual akan meningkat. Teh basah hanya dihargai Rp 2.000 per kilogram (kg). Sementara, harga teh kering dibandrol mulai Rp 13.500 per ha.
Menurut Harry, pengolahan teh terintegrasi bisa dibangun oleh para petani dengan sistem koperasi. Paling tidak, biaya untuk membangun pabrik pengolahan teh sebesar Rp 5 hingga Rp 7 miliar.
Jika pelaku usaha kebun teh senang dengan kebijakan ini, beda halnya dengan pelaku usaha kebun tebu. Pasalnya, sulit untuk membangun pabrik tebu dengan skala kecil. Batasan luas areal lahan yang ditetapkan oleh pemerintah membuat tak ekonomis untuk membangun pabrik gula (PG).
"Dari
pengalaman yang ada sebelumnya, pembangunan pabrik gula mini gagal," ujar
Colosewoko Wakil Sekjen Gabungan Perusahaan Perkebunan Indonesia (GPPI).
Idealnya, pembangunan PG bisa dilakukan bila perusahaan memiliki lahan minimal
20.000 ha. Bila ditambah dengan lahan pembibitan luasnya harus mencapai 23.000
ha.
DIKUTIP DARI DAILY INVESTOR, SELASA, 22 OKTOBER 2013