Kena Bea Keluar, Eksportir Kakao Hengkang ke Vietnam
19 Juni 2012
Admin Website
Artikel
4529
JAKARTA. Eksportir kakao yang tergabung dalam Asosiasi
Kakao Indonesia (Askindo) mengeluhkan pemberlakuan Bea Keluar ekspor
biji kakao sebesar 5-15% sesuai Peraturan Menteri Keuangan No
67/PMK.011/2010. Askindo mengklaim aturan itu telah berdampak pada iklim
usaha.
Askindo menilai ketentuan bea keluar terhadap kakao berdampak pada hengkangnya beberapa perusahaan trader multinational yang bergerak di bisnis Kakao di Indonesia. Para trader asing memilih memindahkan usahanya dari Indonesia ke Vietnam.
Hal ini dinyatakan oleh Wakil Sekretaris Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) Sohinder Dingri Sonny yang juga Direktur PT Coklat Murni, yang ditemui detikFinance di Warkop Az-Zahra, Makassar, Senin (18/6/2012).
Menurut Sonny pemberlakuan Permenkeu No 67 Tahun 2010, yang efektif pada 1 Mei 2010 lalu, mengakibatkan para trader kakao asing tidak lagi kompetitif dalam membeli kakao dari petani, karena harus membayar bea keluar atau pajak ekspor.
"Kami coba bertahan selama 2 tahun ini, ternyata kami sangat kewalahan mendapatkan bahan baku karena perbedaan harganya, yang sangat mencolok akibat adanya regulasi bea keluar ini, pilihan kami mau tidak mau kita memilih memindahkan usaha kami ke Vietnam, yang tidak memiliki regulasi bea keluar ekspor dan kualitas biji kakaonya lebih baik dari kakao Indonesia," tutur Sonny.
Dalam setahun, lanjut Sonny, perusahaannya memasukkan devisa negara sebanyak US$ 35 juta. Selain perusahaannya, beberapa perusahaan trader kakao asing di Sulawesi Selatan (Sulsel) juga sudah hengkang ke Vietnam.
Di Sulawesi Selatan terdapat 12 trader multinational company yang bergerak di bisnis Kakao. Jika ke-12 trader ini memilih angkat kaki dari Sulsel, Sonny memperkirakan devisa negara akan hilang sekitar US$ 350 juta di Sulsel. Dari total produksi kakao nasional, 70% di antaranya berada di kawasan Sulawesi.
Sonny menambahkan, para trader asing kakao tidak bisa bersaing dalam pembelian kakao dengan pihak industri pengolahan Cacao Liquor, karena pihak industri pengolahan kakao tidak dikenakan bea keluar ekspor seperti yang diterapkan pada trader multinational company yang bergerak di bisnis kakao.
Sementara itu, anggota DPRD Sulsel dari Fraksi Hanura, Affandi Agusman Aris, di tempat yang sama, meminta pemerintah provinsi Sulsel menindaklanjuti kegerahan para Penanam Modal Asing (PMA) yang dirugikan penerapan Permenkeu No 67 Tahun 2010 ini.
"Angka US$ 350 juta ini bukan angka sedikit, Pemprov Sulsel harus bisa melobi pemerintah pusat, khususnya Departemen Perindustrian dan Perdagangan, agar para PMA tetap bertahan di Sulsel," pungkas Affandi.
DIKUTIP DARI DETIK, SENIN, 18 JUNI 2012
Askindo menilai ketentuan bea keluar terhadap kakao berdampak pada hengkangnya beberapa perusahaan trader multinational yang bergerak di bisnis Kakao di Indonesia. Para trader asing memilih memindahkan usahanya dari Indonesia ke Vietnam.
Hal ini dinyatakan oleh Wakil Sekretaris Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) Sohinder Dingri Sonny yang juga Direktur PT Coklat Murni, yang ditemui detikFinance di Warkop Az-Zahra, Makassar, Senin (18/6/2012).
Menurut Sonny pemberlakuan Permenkeu No 67 Tahun 2010, yang efektif pada 1 Mei 2010 lalu, mengakibatkan para trader kakao asing tidak lagi kompetitif dalam membeli kakao dari petani, karena harus membayar bea keluar atau pajak ekspor.
"Kami coba bertahan selama 2 tahun ini, ternyata kami sangat kewalahan mendapatkan bahan baku karena perbedaan harganya, yang sangat mencolok akibat adanya regulasi bea keluar ini, pilihan kami mau tidak mau kita memilih memindahkan usaha kami ke Vietnam, yang tidak memiliki regulasi bea keluar ekspor dan kualitas biji kakaonya lebih baik dari kakao Indonesia," tutur Sonny.
Dalam setahun, lanjut Sonny, perusahaannya memasukkan devisa negara sebanyak US$ 35 juta. Selain perusahaannya, beberapa perusahaan trader kakao asing di Sulawesi Selatan (Sulsel) juga sudah hengkang ke Vietnam.
Di Sulawesi Selatan terdapat 12 trader multinational company yang bergerak di bisnis Kakao. Jika ke-12 trader ini memilih angkat kaki dari Sulsel, Sonny memperkirakan devisa negara akan hilang sekitar US$ 350 juta di Sulsel. Dari total produksi kakao nasional, 70% di antaranya berada di kawasan Sulawesi.
Sonny menambahkan, para trader asing kakao tidak bisa bersaing dalam pembelian kakao dengan pihak industri pengolahan Cacao Liquor, karena pihak industri pengolahan kakao tidak dikenakan bea keluar ekspor seperti yang diterapkan pada trader multinational company yang bergerak di bisnis kakao.
Sementara itu, anggota DPRD Sulsel dari Fraksi Hanura, Affandi Agusman Aris, di tempat yang sama, meminta pemerintah provinsi Sulsel menindaklanjuti kegerahan para Penanam Modal Asing (PMA) yang dirugikan penerapan Permenkeu No 67 Tahun 2010 ini.
"Angka US$ 350 juta ini bukan angka sedikit, Pemprov Sulsel harus bisa melobi pemerintah pusat, khususnya Departemen Perindustrian dan Perdagangan, agar para PMA tetap bertahan di Sulsel," pungkas Affandi.
DIKUTIP DARI DETIK, SENIN, 18 JUNI 2012